Beberapa hari yang lalu saya membaca suatu artikel menarik mengenai perbedaan attitude orang Asia dan orang Eropa. Salah satunya adalah pada saat merasa marah dengan seseorang, orang Asia pada umumnya akan tetap menunjukkan raut wajah ramah walaupun di dalam hatinya sudah dongkol banget. Berbeda dengan orang Eropa yang bisa terang-terangan menunjukkan raut wajah (dan mungkin juga perkataan serta gesture) marah. Begitu menurut artikel tersebut, entah benar atau salah.
Dan itu benar benar terjadi pada saya kemarin.
Salah satu debitur saya (nama perusahaannya.. sebut saja PT. Mawar) sudah membuat saya kesal selama beberapa bulan ini. Terutama manager keuangannya (sebut saja Ibu Mawar). Hampir setiap hari saya bersitegang dengan dia di telpon. Sampai akhirnya saya tidak mau lagi menelpon dia sendiri, biarlah saya korbankan asisten saya saja –yang notabene memang agak lebih sabar dari saya.
Minggu lalu dia dan direkturnya datang ke tempat kerja saya untuk menandatangani dokumen kredit. Menjelang kedatangannya, saya sampaikan ke atasan saya bahwa saya tidak mau menemui debitur yang ini. Saya serahkan semuanya ke atasan saya. Pokoknya saya gak mau ketemu dia lagi. Titik.
Ternyata sesampainya dia dan direkturnya di kantor, atasan saya mendadak ada keperluan lain. Terpaksa saya harus temui sendiri debitur yang super demanding dan menyebalkan itu.
Sesampainya di ruang tamu... (dalam hati udah males banget liat tampangnya)
Saya:
”Eh bu Mawar sudah datang” (sambil cipika cipiki)
“Gimana bu, masih sakit tenggorokan? Kok suaranya masih habis?” (pura-pura perhatian)
Senyum dikembangkan selebar mungkin
Bu Mawar:
”Iya bu Putri Mimpi” (bales cipika cipiki)
”Iya nih bu, masih tinggal dikit.” (basa basi)
Senyum gak mau kalah lebar
Dan semua berjalan dengan baik dan hangat seolah-olah tidak pernah ada masalah apapun dalam hati kami berdua.
Dalam hati dia sih saya gak tau.
Tapi dalam hati saya... ... ah entahlah..
Aaarrgghhh >.<
Dan itu benar benar terjadi pada saya kemarin.
Salah satu debitur saya (nama perusahaannya.. sebut saja PT. Mawar) sudah membuat saya kesal selama beberapa bulan ini. Terutama manager keuangannya (sebut saja Ibu Mawar). Hampir setiap hari saya bersitegang dengan dia di telpon. Sampai akhirnya saya tidak mau lagi menelpon dia sendiri, biarlah saya korbankan asisten saya saja –yang notabene memang agak lebih sabar dari saya.
Minggu lalu dia dan direkturnya datang ke tempat kerja saya untuk menandatangani dokumen kredit. Menjelang kedatangannya, saya sampaikan ke atasan saya bahwa saya tidak mau menemui debitur yang ini. Saya serahkan semuanya ke atasan saya. Pokoknya saya gak mau ketemu dia lagi. Titik.
Ternyata sesampainya dia dan direkturnya di kantor, atasan saya mendadak ada keperluan lain. Terpaksa saya harus temui sendiri debitur yang super demanding dan menyebalkan itu.
Sesampainya di ruang tamu... (dalam hati udah males banget liat tampangnya)
Saya:
”Eh bu Mawar sudah datang” (sambil cipika cipiki)
“Gimana bu, masih sakit tenggorokan? Kok suaranya masih habis?” (pura-pura perhatian)
Senyum dikembangkan selebar mungkin
Bu Mawar:
”Iya bu Putri Mimpi” (bales cipika cipiki)
”Iya nih bu, masih tinggal dikit.” (basa basi)
Senyum gak mau kalah lebar
Dan semua berjalan dengan baik dan hangat seolah-olah tidak pernah ada masalah apapun dalam hati kami berdua.
Dalam hati dia sih saya gak tau.
Tapi dalam hati saya... ... ah entahlah..
Aaarrgghhh >.<
No comments:
Post a Comment