Bukan berarti sudah tak ada lagi yang berjalan kaki, namun banyaknya mahasiswa yang dipersenjatai sepeda motor oleh orangtuanya, membuat jumlah gerombolan pejalan kaki itu jauh berkurang dibanding dulu. Namun Intan tetap setia, berjalan kaki dari tempat kosnya di Gebang menuju jurusan Teknik Kimia yang berada di ujung timur kampus. Bukan karena orangtuanya tak mampu membekalinya dengan kendaraan bermotor, gadis manis itu memilih berjalan kaki karena lebih sehat dan menyenangkan.
Menyenangkan, karena dengan berjalan kaki dia bisa melewati kantin pusat dan menyapa cowok ganteng anak penjual soto di kantin. Cowok itu bernama Kapten Bhirawa. Nama yang menarik, mungkin orangtuanya ingin sekali anaknya kelak menjadi seorang kapten. Namun entah apakah cita-cita itu dapat terwujud, karena nyatanya saat ini cowok tinggi putih itu masih menjalani kuliah sore di jurusan Teknik Mesin ITS.
Pagi ini sang Kapten membantu ibunya menata meja untuk berjualan. Deg-degan, Intan berdiri tidak terlalu jauh dari pintu utama kantin, berharap sang pujaan hati melihatnya. Tangannya menggenggam amplop warna pink berisi surat cinta untuk sang Kapten. Ragu - ragu, rasa malu kembali mengusai dirinya. Sesaat sebelum dia memutuskan untuk berbalik dan melanjutkan perjalanannya, sang pujaan hati melihatnya. Pandangan mereka beradu, seketika cowok itu tersenyum sambil melambaikan tangannya yang kekar.
Cerita ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest: Senandung Cinta.
Cerita ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest: Senandung Cinta.
No comments:
Post a Comment